Pambantaian di Indonesia 1965–1966
Artikel ko sadang disiapkan dan sadang dikambangkan, dan mungkin akan tajadi parubahan-parubahan gadang. Sanak dapek mambantu dalam pangambangan laman ko. Laman ko taakhia disuntiang dek Fendry mappariza (Kontrib • Log) 328 hari 416 menit nan lalu. Kok Sanak mancaliak artikel ko indak disuntiang dalam babarapo hari, mohon hapuih templat ko. |
Pembantaian di Indonesia 1965–1966 adalah peristiwa pembantaian terhadap orang-orang yang dituduh sebagai pendukung komunisme di Indonesia setelah kegagalan usaha kudeta Gerakan 30 September (G30S/PKI).[1][2][3] Sebagian besar sejarawan sepakat bahwa setidaknya setengah juta orang dibantai.[4][5][6][7] Suatu komando keamanan angkatan bersenjata memperkirakan antara 450.000 sampai 500.000 jiwa dibantai.[3]
Latar belakang
[suntiang | suntiang sumber]Partai Komunis Indonesia (PKI) pernah menjadi partai komunis terbesar ketiga di dunia.[8] Kadernya berjumlah sekitar 300.000, sementara anggotanya diperkirakan sebanyak dua juta orang.[9] Selain itu PKI juga mengatur serikat-serikat buruh.
Dukungan terhadap kepresidenan Soekarno bergantung pada koalisi "Nasakom" antara militer, kelompok agama, dan komunis. Perkembangan pengaruh dan kemilitanan PKI, serta dukungan Soekarno terhadap partai tersebut, menumbuhkan kekhawatiran pada kelompok muslim dan militer. Ketegangan mulai menyelimuti perpolitikan Indonesia pada awal dan pertengahan tahun 1960-an.[10] Upaya PKI untuk mempercepat reformasi tanah menggusarkan tuan-tuan tanah dan mengancam posisi sosial para kyai.[11]
Pada tanggal 1 Oktober 1965, enam Jendral (tiga di antaranya dalam proses penjemputan paksa pada pagi hari, sedangkan tiga sisanya dan satu orang perwira menengah pada sore hari) dibunuh oleh kelompok yang menyebut diri mereka sebagai Dewan Revolusi --- namun Soeharto menamai gerakan Dewan Revolusi tersebut sebagai Gerakan 30 September, walau fakta sejarahnya aksi penjemputan paksa dilakukan pada jam empat pagi tanggal 1 Oktober 1965, untuk mendekatkan penyebutan Gestapu dengan sebutan Gestapo (Polisi Rahasia Nazi Jerman yang dikenal bengis dan kejam). Maka pemimpin-pemimpin utama militer Indonesia tewas atau hilang, sehingga Soeharto mengambil alih kekuasaan angkatan bersenjata (yang dilakukan atas inisiatif sendiri tanpa berkoordinasi dengan Presiden Soekarno selaku pemangku jabatan Panglima Tertinggi menurut Undang-Undang dalam struktur komando di tubuh APRI). Pada 2 Oktober, ia mengendalikan ibu kota dan mengumumkan bahwa upaya kudeta telah gagal. Angkatan bersenjata menuduh PKI sebagai dalang peristiwa tersebut.[12] Pada tanggal 5 Oktober, jenderal-jenderal yang tewas dimakamkan. Propaganda militer mulai disebarkan, dan menyerukan pembersihan di seluruh negeri. Propaganda ini berhasil meyakinkan orang-orang Indonesia dan pemerhati internasional bahwa dalang dari semua peristiwa ini adalah PKI.[12] Penyangkalan PKI sama sekali tidak berpengaruh.[13] Maka ketegangan dan kebencian yang terpendam selama bertahun-tahun pun meledak.[14]
Pembersihan politik
[suntiang | suntiang sumber]Pemimpin-pemimpin militer yang diduga sebagai simpatisan PKI dicabut jabatannya.[15] Majelis Permusyawaratan Rakyat Sementara dan Kabinet 100 Menteri dibersihkan dari pendukung-pendukung Soekarno. Pemimpin-pemimpin PKI segera ditangkap, bahkan beberapa dibunuh pada saat penangkapan, sisanya dihukum mati melalui proses persidangan pura-pura untuk konsumsi HAM Internasional.[16] Petinggi angkatan bersenjata menyelenggarakan demonstrasi di Jakarta.[16] Pada tanggal 8 Oktober, markas PKI Jakarta dibakar.[17][18] Kelompok pemuda anti-komunis dibentuk, contohnya Kesatuan Aksi Mahasiswa Indonesia (KAMI), Kesatuan Aksi Pelajar Indonesia (KAPI), Kesatuan Aksi Pemuda Pelajar Indonesia (KAPPI), dan Kesatuan Aksi Sarjana Indonesia (KASI).[19] Di Jakarta dan Jawa Barat, lebih dari 10.000 aktivis dan petinggi PKI ditangkap, salah satunya Pramoedya Ananta Toer.[19]
Jumlah korban
[suntiang | suntiang sumber]Meskipun garis besar peristiwa diketahui, namun tidak banyak yang diketahui mengenai pembantaiannya,[20] dan jumlah pasti korban meninggal hampir tak mungkin diketahui.[21] Hanya ada sedikit wartawan dan akademisi Barat di Indonesia pada saat itu. Angkatan bersenjata merupakan satu dari sedikit sumber informasi, sementara rezim yang melakukan pembantaian berkuasa sampai tiga dasawarsa.[22] Media di Indonesia ketika itu dibatasi oleh larangan-larangan di bawah "Demokrasi Terpimpin" dan oleh "Orde Baru" yang mengambil alih pada Oktober 1966.[23] Karena pembantaian terjadi di puncak Perang Dingin, hanya sedikit penyelidikan internasional yang dilakukan, karena berisiko memperkusut prarasa Barat terhadap Soeharto dan "Orde Baru" atas PKI dan "Orde Lama".[24]
Dalam waktu 20 tahun pertama setelah pembantaian, muncul tiga puluh sembilan perkiraan serius mengenai jumlah korban.[25] Sebelum pembantaian selesai, angkatan bersenjata memperkirakan sekitar 78.500 telah meninggal[26] sedangkan menurut orang-orang komunis yang trauma, perkiraan awalnya mencapai 2 juta korban jiwa.[25] Di kemudian hari, angkatan bersenjata memperkirakan jumlah yang dibantai dapat mencapai sekitar 1 juta orang.[27] Pada 1966, Benedict Anderson memperkirakan jumlah korban meninggal sekitar 200.000 orang dan pada 1985 mengajukan perkiraan mulai dari 500,000 sampai 1 juta orang.[25] Sebagian besar sejarawan sepakat bahwa setidaknya setengah juta orang dibantai,[28][29][30][31] lebih banyak dari peristiwa manapun dalam sejarah Indonesia.[28] Suatu komando keamanan angkatan bersenjata memperkirakan antara 450.000 sampai 500.000 jiwa dibantai.[32]
Para korban dibunuh dengan cara ditembak, dipenggal, dicekik, atau digorok oleh angkatan bersenjata dan kelompok Islam. Pembantaian dilakukan dengan cara "tatap muka", tidak seperti proses pembantaian massal oleh Khmer Merah di Kamboja atau oleh Jerman Nazi di Eropa.[33]
Catatan kaki
[suntiang | suntiang sumber]- ↑ Ricklefs (1991), hlm. 288
- ↑ Cribb (1990), hlm. 3
- ↑ a b McDonald (1980), hlm. 53.
- ↑ Ricklefs (1991), hlm. 288.
- ↑ Vickers (2005), hlm. 159
- ↑ Friend (2003), hlm. 113
- ↑ Robert Cribb (2002). "Unresolved Problems in the Indonesian Killings of 1965–1966". Asian Survey. 42 (4): 550–563. doi:10.1525/as.2002.42.4.550.
- ↑ cf with Weiner (2007) hlm.259
- ↑ Cribb (1990), hlm. 41.
- ↑ Schwarz (1991), hlm. 16–18
- ↑ Schwarz (1994), hlm. 17, 21.
- ↑ a b Vickers (2005), hlm. 157.
- ↑ Ricklefs (1991), hlm. 287.
- ↑ Schwarz (1994), hlm. 20.
- ↑ Schwarz (1994), hlm. 21
- ↑ a b Vickers (2005), hlm. 157.
- ↑ Vickers (2005), hlm. 157
- ↑ Ricklefs (1991), hlm. 287
- ↑ a b Ricklefs (1991), hlm. 287.
- ↑ Cribb (1990), hlm. 3.
- ↑ Cribb (1990), hlm. 14.
- ↑ Cribb (1990), hlm. 3–4
- ↑ Crouch, hlm. 65–66; Oey Hong Lee (1971).
- ↑ Cribb (1990), hlm. 5.
- ↑ a b c Friend (2003), hlm. 113.
- ↑ Crouch, Army and politics, hlm. 155, dikutip dalam Cribb (1990). hlm. 7.
- ↑ Vickers (2005), hlm. 159.
- ↑ a b Ricklefs (1991), hlm. 288.
- ↑ Vickers (2005), hlm. 159
- ↑ Friend (2003), hlm. 113
- ↑ Robert Cribb (2002). "Unresolved Problems in the Indonesian Killings of 1965–1966". Asian Survey. 42 (4): 550–563. doi:10.1525/as.2002.42.4.550.
- ↑ McDonald (1980), hlm. 53.
- ↑ Allard, Tom. "Indonesia unwilling to tackle legacy of massacres". Sydney Morning Herald. Diakses tanggal 17-04-2011.
Referensi
[suntiang | suntiang sumber]- Bahasa Indonesia
- Busjarie Latief. (Oktober 2014) Manuskrip Sejarah 45 Tahun PKI [1920-1965]. Lembaga Sejarah PKI. Ultimus, ISBN 978-602-8331-50-0.
- Hermawan Sulistyo. (Juni, 2000.) Palu arit di ladang tebu - Sejarah pembantaian massal yang terlupakan [1965-1966]. Kepustakaan Populer Gramedia. ISBN 979-9023-42-4.
- Heru Atmodjo, Garda Sembiring, Harsutedjo. (2004) Gerakan 30 September: Kesaksian Letkol (Pnb) Heru Atmodjo. Seri pelurusan sejarah '65. Testimony of Heru Atmodjo, an Indonesian Air Force pilot, on the coup d'etat of Gerakan 30 September 1965. The University of Michigan, ISBN 979-97816-7-1, ISBN 978-979-97816-7-3, Tride.
- Joko Waskito. (ed) Bilven. (2015) Siswoyo dalam Pusaran Arus Sejarah Kiri: Memoar Anggota Sekretariat CC KI. Cetakan 1, Ultimus, Juli, ISBN 978-602-8331-60-9
- Julius Pour. (2010) Gerakan 30 September: pelaku, pahlawan & petualang/catatan Julius Pour, Jakarta: Penerbit Buku Kompas, ISBN 978-979-709-524-6.
- Wijaya Herlambang. (2013) Kekerasan Budaya Pasca 1965 - Bagaimana Orde Baru melegitimasi anti-komunisme melaui sastra & film. Marjin Kiri. ISBN 978-979-1260-26-8.
- Bahasa Inggris
- Bevins, Vincent, The Jakarta Method: Washington’s Anticommunist Crusade and the Mass Murder Program That Shaped Our World, Public Affairs Books, 2020. ISBN 9781541724013
- Crouch, Harold,(1978) The army and politics in Indonesia, Ithaca, N.Y.: Cornell University Press ISBN 0801411556 (A revision of the author's thesis, Monash University, Melbourne, 1975, entitled: The Indonesia Army in politics, 1960-1971.) pp. 65–66. Cited in Cribb (1990).
- Cribb, Robert. (1990) The Indonesian killings of 1965–1965: studies from Java and Bali Clayton, Vic.: Monash University Centre of Southeast Asian Studies, Monash Papers on Southeast Asia no 21, ISBN 0-7326-0231-9 (pbk.) cited here in Schwarz (1994).
- Cribb, Robert, "How many deaths? Problems in the statistics of massacre in Indonesia (1965-1966) and East Timor (1975-1980)" Violence in Indonesia Ed. Ingrid Wessel and Georgia Wimhöfer. Hamburg: Abera, 2001. 82-98. [1] Archived 2011-06-05 di Wayback Machine.
- Easter, David. (2005) "Keep the Indonesian pot boiling": Western intervention in Indonesia, October 1965-March 1966, Cold War History, Volume 5, Number 1, February.
- Friend, T. (2003). Indonesian Destinies. Harvard University Press. ISBN 0-674-01137-6. https://archive.org/details/indonesiandestin00theo.
- McDonald, Hamish (1980), Soeharto's Indonesia, Melbourne: Fontana Books, ISBN 0-00-635721-0
- Oey Hong Lee, (1971) Indonesian government and press during Guided Democracy Hull: University of Hull,Hull monographs on South-East Asia ; no. 4 . Zug, Switzerland: Inter Documentation Co.
- Ricklefs, M. C. (1991). A History of Modern Indonesia since c.1300, Second Edition. MacMillan. ISBN 0-333-57689-X
- Robinson, Geoffrey (1995). The Dark Side of Paradise: Political Views in Bali. Ithaca: Cornell University Press. pp. Chapter 11. https://archive.org/details/darksideofparadi00robi. cited here from Friend (2003).
- Schwarz, A. (1994). A Nation in Waiting: Indonesia in the 1990s. Westview Press. ISBN 1-86373-635-2. https://archive.org/details/nationinwaitingi00schw.
- Taylor, Jean Gelman (2003). Indonesia: Peoples and Histories. New Haven and London: Yale University Press. ISBN 0-300-10518-5. https://archive.org/details/indonesiapeoples0000tayl.
- Vickers, Adrian (2005). A History of Modern Indonesia. Cambridge University Press. ISBN 0-521-54262-6. https://archive.org/details/historyofmoderni00adri.
- Vickers, Adrian (1995), From Oey, Eric (Editor) (1995). Bali. Singapore: Periplus Editions. pp. 26–35. ISBN 962-593-028-0. https://archive.org/details/bali0000unse_y9m7.
- Weiner, Tim (2007). Legacy of Ashes - The History of the CIA. Penguin Books. ISBN 978-1-84614-064-8.
Pranala luar
[suntiang | suntiang sumber]- (Inggirih) Final Report of the IPT 1965: Findings and Documents of the IPT 1965. International People's Tribunal 1965.
- (Inggirih) Accomplices in Atrocity. The Indonesian killings of 1965 (transcript). Australian Broadcasting Corporation, 7 September 2008
- (Inggirih) Lessons of the 1965 Indonesian Coup Terri Cavanagh, World Socialist Web Site, 1998.
- (Inggirih) The Forgotten Massacres. Jacobin. 2 June 2015.
- (Inggirih) Suharto’s Purge, Indonesia’s Silence. Joshua Oppenheimer for The New York Times, 29 September 2015.
- (Inggirih) Indonesia takes step toward reckoning with '65-66 atrocities Archived 2016-05-06 di Wayback Machine.. The Associated Press. 18 April 2016
- (Inggirih) Indonesia challenged to admit existence of mass graves from anti-communist purges. Australian Broadcasting Corporation. 23 May 2016.
- (Inggirih) Indonesia Takes a Step Back From Reckoning With a Past Atrocity. The New York Times, 29 September 2017.
- (Inggirih) In Indonesia, the ‘fake news’ that fueled a Cold War massacre is still potent five decades later. The Washington Post. 30 September 2017.
- (Inggirih) There’s now proof that Soeharto orchestrated the 1965 killings by Jess Melvin. Indonesia at Melbourne at the University of Melbourne, 26 June 2018.
- (Inggirih) A History of the Indonesian Massacres, 1965-1966 by Gregory Elich
- (Inggirih) LIFE Magazine article, 1 July 1966