Kontrak

Wikipedia Minangkabau - Lubuak aka tapian ilimu
Revisi sajak 7 April 2021 23.11 dek David Wadie Fisher-Freberg (rundiang | jariah)
(bedo) ← Revisi sabalunnyo | Revisi tabaru (bedo) | Revisi salanjuiknyo → (bedo)

Sabuah kontrak atau pajanjian adolah sabuah dokumen nan maikaik sacaro hukum antaro duo pihak atau labiah nan manantuan dan mangatur hak jo kawajiban pihak-pihak nan takaik. Kontrak dinyatokan balaku sacaro hukum kok alah mamanuahi syarat sah sasuai undang-undang, dan biasonyo mangatur transaksi barang, jaso, pitih, atau janji untuak malakukan atau indak malakukan sasuatu. Palanggaran kontrak (breach of contract) bararti pihak nan dirugikan dek palanggaran tasabuik punyo hak ateh konsekuensi hukum sasuai undang-undang, contohnyo ganti rugi atau panyatoan dari pangadilan baso kontrak nantun indak balaku sacaro hukum.[1][2]

Dalam sistem hukum umum, panyusunan sabuah kontrak biasonyo manyaraikkan adonyo panawaran dan panarimoan, patimbangan, jo niaik basamo untuak taikaik dalam kontrak. Kontrak lisan umumnyo balaku, namun jinih kontrak nan tatantu paralu dituangkan dalam bantuak tulisan atau akta.[3] Dalam sistem hukum sipil, hukum nan mangatur tantang kontrak adolah cabang dari hukum kawajiban, nan juo maliputi pangaturan tantang karugian (tort).[4]

Kontrak nan dibuek pado sabuah nagara diakui sabagai bagian dari hukum perdata antarobanso, baso tiok nagara punyo sistem surang untuak mengatur pakaro kontrak. Pangaturan kontrak tiok-tiok nagara bisa babeda-beda, bisa pulo balainan bana. Banyak kontrak nan basipaik antarobanso punyo klausa piliahan hukum dan klausa piliahan forum, nan mangatur hukum nagara nan ma akan mangatur kontrak ko dan pangadilan nagara nan ma akan manjadi tampek disalasaiannyo sangketa tantang palaksanaan kontrak.[5][6] Indak adonyo klausul samacam tu diakomodir dek aturan lain; misalnyo, nagara anggota Uni Eropa manarapkan Pasal 4 Paraturan Roma I untuak manantuan hukum nan mangatur kontrak, dan Paraturan Brussels I untuak manantuan forum panyalasaian sangketa.[7][8]

Sajarah

Whilst early rules of trade and barter have existed since ancient times, modern laws of contract in the West are traceable from the industrial revolution (1750 onwards), when increasing numbers worked in factories for a cash wage. In particular, the growing strength of the British economy and the adaptability and flexibility of the English common law led to a swift development of English contract law. Colonies within the British empire (including the USA and the Dominions) would adopt the law of the mother country. In the 20th century, the growth of export trade led to countries adopting international conventions, such as the Hague-Visby Rules and the UN Convention on Contracts for the International Sale of Goods,[9] to promote uniform regulations.

Bill of sale of a male slave and a building in Shuruppak, Sumerian tablet, circa 2600 BC

Contract law is based on the principle expressed in the Latin phrase pacta sunt servanda, ( "agreements must be kept").[10] The common law of contract originated with the now-defuct writ of assumpsit, which was originally a tort action based on reliance.[11] Contract law falls within the general law of obligations, along with tort, unjust enrichment, and restitution.[12]

Jurisdictions vary in their principles of freedom of contract. In common law jurisdictions such as England and the United States, a high degree of freedom is the norm. For example, in American law, it was determined in the 1901 case of Hurley v. Eddingfield that a physician was permitted to deny treatment to a patient despite the lack of other available medical assistance and the patient's subsequent death.[13] This is in contrast to the civil law, which typically applies certain overarching principles to disputes arising out of contract, as in the French Civil Code. Other legal systems such as Islamic law, socialist legal systems, and customary law have their own variations.

However, in both the European union and the United States, the need to prevent discrimination has eroded the full extent of freedom of contract. Legislation governing equality, equal pay, racial discrimination, disability discrimination and so on, has imposed limits of the full freedom of contract.[14] For example, the Civil Rights Act of 1964 restricted private racial discrimination against African-Americans.[15] In the early 20th century, the United States underwent the "Lochner era", in which the Supreme Court of the United States struck down economic regulations on the basis of freedom of contract and the Due Process Clause; these decisions were eventually overturned, and the Supreme Court established a deference to legislative statutes and regulations that restrict freedom of contract.[14] The US Constitution contains a Contract Clause, but this has been interpreted as only restricting the retroactive impairment of contracts.[14]

Asas

Dalam suatu perjanjian harus diperhatikan pula beberapa macam azas yang dapat diterapkan antara lain:

1. Asas Konsensualisme, yaitu azas kesepakatan, dimana suatu perjanjian dianggap ada seketika setelah ada kata sepakat

2. Asas Kepercayaan, yang harus ditanamkan diantara para pihak yang membuat perjanjian

3. Asas kekuatan mengikat, maksudnya bahwa para pihak yang membuat perjanjian terikat pada seluruh isi perjanjian dan kepatutan yang berlaku

4. Asas Persamaan Hukum, yaitu bahwa setiap orang dalam hal ini para pihak mempunyai kedudukan yang sama dalam hukum

5. Asas Keseimbangan, maksudnya bahwa dalam melaksanakan perjanjian harus ada keseimbangan hak dan kewajiban dari masing-masing pihak sesuai dengan apa yang diperjanjikan

6. Asas Moral adalah sikap moral yang baik harus menjadi motivasi para pihak yang membuat dan melaksanakan perjanjian

7. Asas Kepastian Hukum yaitu perjanjian yang dibuat oleh para pihak berlaku sebagai undang-undang bagi para pembuatnya

8. Asas Kepatutan maksudnya bahwa isi perjanjian tidak hanya harus sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku tetapi juga harus sesuai dengan kepatutan, sebagaimana ketentuan Pasal 1339 BW yang menyatakan bahwa suatu perjanjian tidak hanya mengikat untuk hal-hal yang dengan tegas dinyatakan didalamnya, tetapi juga untuk segala sesuatu yang menurut sifat perjanjian diharuskan oleh kepatutan, kebiasaan atau undang-undang.

9. Asas Kebiasaan, maksudnya bahwa perjanjian harus mengikuti kebiasaan yang lazim dilakukan, sesuai dengan isi pasal 1347 BW yang berbunyi hal-hal yang menurut kebiasaan selamanya diperjanjikan dianggap secara diam-diam dimasukkan ke dalam perjanjian, meskipun tidak dengan tegas dinyatakan. Hal ini merupakan perwujudan dari unsur naturalia dalam perjanjian.

Syarat sah

Untuk dapat dianggap sah secara hukum, ada 4 syarat yang harus dipenuhi sebagaimana diatur dalam Pasal 1320 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata Indonesia:

  1. Kesepakatan para pihak
  2. Kecakapan para pihak
  3. Mengenai hal tertentu yang dapat ditentukan secara jelas
  4. Sebab/causa yang diperbolehkan secara hukum.

Kesepakatan berarti adanya persesuaian kehendak dari para pihak yang membuat perjanjian, sehingga dalam melakukan suatu perjanjian tidak boleh ada paksaan, kekhilapan dan penipuan (dwang, dwaling, bedrog).

Kecakapan hukum sebagai salah satu syarat sahnya perjanjian maksudnya bahwa para pihak yang melakukan perjanjian harus telah dewasa, sehat mentalnya serta diperkenankan oleh undang-undang.

Menurut Pasal 1330 BW juncto Pasal 47 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan seseorang dikatakan dewasa yaitu telah berusia 18 tahun atau telah menikah. Apabila orang yang belum dewasa hendak melakukan sebuah perjanjian, maka dapat diwakili oleh orang tua atau walinya.

Sementara itu seseorang dikatakan sehat mentalnya berarti orang tersebut tidak berada dibawah pengampuan, sebagaimana ditentukan dalam Pasal 1330 juncto Pasal 433 BW. Orang yang cacat mental dapat diwakili oleh pengampu atau kuratornya. Sedangkan orang yang tidak dilarang oleh undang-undang maksudnya orang tersebut tidak dalam keadaan pailit sesuai isi Pasal 1330 BW juncto Undang-Undang Kepailitan. Suatu hal tertentu berhubungan dengan objek perjanjian, maksudnya bahwa objek perjanjian itu harus jelas, dapat ditentukan dan diperhitungkan jenis dan jumlahnya, diperkenankan oleh undang-undang serta mungkin untuk dilakukan para pihak.

Suatu sebab yang halal, berarti perjanjian termaksud harus dilakukan berdasarkan itikad baik. Berdasarkan Pasal 1335 BW, suatu perjanjian tanpa sebab tidak mempunyai kekuatan.

Sebab dalam hal ini adalah tujuan dibuatnya sebuah perjanjian. Kesepakatan para pihak dan kecakapan para pihak merupakan syarat sahnya perjanjian yang bersifat subjektif. Apabila tidak tepenuhi, maka perjanjian dapat dibatalkan artinya selama dan sepanjang para pihak tidak membatalkan perjanjian, maka perjanjian masih tetap berlaku. Sedangkan suatu hal tertentu dan suatu sebab yang halal merupakan syarat sahnya perjanjian yang bersifat objektif. Apabila tidak terpenuhi, maka perjanjian batal demi hukum artinya sejak semula dianggap tidak pernah ada perjanjian.

Pada kenyataannya, banyak perjanjian yang tidak memenuhi syarat sahnya perjanjian secara keseluruhan, misalnya unsur kesepakatan sebagai persesuaian kehendak dari para pihak yang membuat perjanjian pada saat ini telah mengalami pergeseran dalam pelaksanaannya.

Pada saat ini muncul perjanjian-perjanjian yang dibuat dimana isinya hanya merupakan kehendak dari salah satu pihak saja. Perjanjian seperti itu dikenal dengan sebutan Perjanjian Baku (standard of contract).

Sangketa

Tidak dipenuhinya syarat No. 1 dan 2 di atas memberi dasar kepada pihak-pihak yang berkepentingan untuk memohon kepada pengadilan yang berwenang untuk membatalkan kontrak tersebut. Sementara itu, pelanggaran atas syarat No. 3 dan 4 mengakibatkan kontrak yang bersangkutan menjadi batal demi hukum.

Rujuakan

  1. Ryan, Fergus (2006). Round Hall nutshells Contract Law. Thomson Round Hall. pp. 1. ISBN 9781858001715. 
  2. "Case Note - Contract Law - Rule of Law Institute of Australia". Rule of Law Institute of Australia. 2018-05-31. Diakses tanggal 2018-09-14. 
  3. "Contracts". www.lawhandbook.sa.gov.au. Diakses tanggal 2018-09-14. 
  4. Karmaza, O. O., Panfilova, Y. M., Saparova, A. A., Sheludchenkova, A. S., & Oriekhov, S. M. (2019). Civil law contract: Doctrinal and legal approaches. Asia Life Sciences, (2 Suppl. 21), 821-836.
  5. Morris, J. H. C. (1946). The Choice of Law Clause in Statutes. LQ Rev., 62, 170.
  6. Zaphiriou, G. A. (1977). Choice of forum and choice of law clauses in international commercial agreements. Int'l Trade LJ, 3, 311.
  7. Lando, O., & Nielsen, P. A. (2008). The Rome I Regulation. Common Market Law Review, 45(6).
  8. Nielsen, P. A. (2013). The new Brussels I regulation. Common Market Law Review, 50(2).
  9. Willmott, L, Christensen, S, Butler, D, & Dixon, B 2009 Contract Law, Third Edition, Oxford University Press, North Melbourne
  10. Hans Wehberg, Pacta Sunt Servanda, The American Journal of International Law, Vol. 53, No. 4 (Oct., 1959), p.775.; Trans-Lex.org Principle of Sanctity of contracts
  11. Atiyah PS. (1986) Medical Malpractice and Contract/Tort Boundary. Law and Contemporary Problems.
  12. However, a movement in the 1990s to replace the separate teaching of contract and tort with a unified law of "obligations" has met with little success.
  13. Blake V. (2012). When Is a Patient-Physician Relationship Established?. Virtual Mentor.
  14. a b c Bernstein DE. (2008). Freedom of Contract. George Mason Law & Economics Research Paper No. 08-51.
  15. Douglas D. (2002). Contract Rights and Civil Rights. Michigan Law Review.